Hal yang tak mungkin bisa terbiasa untuk dilalui, dan tak pernah mudah untuk dihadapi adalah, kehilangan. Tak terasa 2021 sudah menyapa, namun rasanya aku tak pernah bergerak ke mana-mana sejak 2020 lalu. Masih suka sedih saat melamun, masih suka termenung sebelum tertidur. Rasa yang familiar, yang dulu kurasakan di tahun 2012 dan kulewati dengan babak belur kembali lagi. Bedanya, sekarang aku tak lagi menghadapinya sendirian.. namun tetap saja, kematian yang datang seolah merenggut sebagian dari jiwaku–walau tak kubiarkan mereka benar-benar lepas.
Ramadhan kurang dari 60 hari lagi. Ah, Ramadhan tahun lalu hatiku sungguh tak tenang. Karena kakak yang paling kusayangi sedang memeluk vantilaor di ICU. Organ di dalam tubuhnya, bergantung pada sebuah alat yang masuk jauh ke dalam kerongkongannya. Sampai hari ini rasanya masih tak percaya bahwa di hari ke dua Lebaran harus aku lewati di taman pemakaman umum.
Aku, dengan hati yang terasa terhimpit, masih kerap membuka isi chat terakhir kami. Pertanyaanku yang tak pernah sempat terbalas di dalam layar ponsel adalah “Mas, lebaran besok ke tempat Bapak?”
Aku tak pernah tahu bahwa dia sedang kesakitan saat itu. Sakit yang dianggap masuk angin oleh keluarganya (dan dirinya sendiri) ternyata adalah gejala stroke.
Kakakku dilarikan ke rumah sakit saat tak sadarkan diri, dan tak pernah bangun kembali sampai pulang ke rumah.
***
Ya, kepergiaanya sesederhana dan secepat itu. Padahal bulan Ramadahan dia lalui dengan sehat. WFH bahkan membuatnya lebih banyak beristirahat di rumah, dan kakakku paling taat menjaga protokol kesehatan. Itu yang membuat kami sudah lebih dari 3 bulan tak pernah berjumpa. Dia selalu mengingatkanku untuk berhati-hari, untuk stay at home.
Namun usia siapa yang tahu. Dia bahkan pergi mendadak bukan karena virus yang selama ini kami hindari.
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Jumu’ah: 8
***
Kakakku Rahimahullah adalah orang baik. Mungkin selain Ibuku, dia adalah manusia yang tak pernah memarahiku. Tak pernah walau sekali pun. Di tengah banyak tekanan hidupnya, dia tetap membiayai kuliahku. Membiayai sekolahku sejak SMA. Kakakku tidaklah sempurna, namun aku belum pernah bertemu manusia yang sebaik dirinya. Semua, setiap orang yang datang takziah, selalu mengatakan bahwa dirinya orang baik. Terkadang aku merasa, bahwa aku tidaklah pantas menjadi adiknya. Aku begitu merepotkan dan cengeng. Belum banyak hal yang aku mampu berikan padanya Ya Rabb, untuk membalas jasa-jasanya.
Aku ingat hari itu, aku datang ke kantornya dan menangis, karena kemungkinan aku harus mengulang semester. Skripsiku terancam tidak bisa maju sidang di semeter itu dan mau tidak mau harus tetap kuliah di semester depan. Itu artinya aku harus kembali membayar biaya kuliah. Aku duduk di lorong kantornya, dan dia bilang; “Nggak apa-apa Dek kalau harus bayar kuliah lagi, adek kan sudah usaha. Bukannya gagal karenan belum berusaha.” Tangisku pecah, aku tak mau kakaku harus kembali mengeluarkan biaya untuk kuliahku, aku ingin lulus tepat waktu.
Aku tahu selama ini banyak hal yang harus Rahimahullah relakan, hanya untuk melihatku wisuda, membiayaiku hingga lulus kuliah. Kakaku, bahkan belum menyaksikan satu pun anaknya diwisuda sampai Ia meninggal dunia. Tak ada yang sebaik dirinya dalam memberi, dia tak pernah sekali pun mengungkit pemberiannya. Bahkan setiap kali aku meminta uang jajan atau kebutuhan lain, dia tidak pernah bilang padaku “Uang yang kemarin dikasih sudah habis?” Seperti kebayakan orang tua lainnya. Dia selalu percaya bahwa aku tidak pernah berbohong padanya.
Darinya aku belajar untuk tidak boleh pelit terhadap keluarga suamiku. Karena itu bisa menyakiti hati mereka. Darinya aku belajar bahwa aku tidak akan pernah bertengkar karena masalah uang dengan suamiku. Karena itu menyakitkan juga merendahkan martabatku di hadapan Allah.
Mas, semoga Allah mengampuni setiap dosa-dosa dan menerima setiap amal ibadah. Aku pun hanya tengah menunggu giliranku di sini, karena setiap yang hidup pasti akan merasakan mati. Semoga kuburmu luas, seluas hatimu selama engkau hidup, semoga kuburmu ramai, seramai pemberianmu pada keluarga juga umat selama ini. Bahkan chat terakhirmu mengingatkanku perihal zakat.
Kau tak membiarkan satu pun keluarga juga temanmu meminta maaf, karena aku yakin kau tak pernah menyimpan marah pada siapa-siapa.
***
Kehilangan hanya akan berhenti, saat giliran diri ini yang hilang. Semoga kita bisa menjadi bagian yang mengingat kehilangan sebagai nasihat terbaik, bahwa tak ada hal yang kekal di dunia ini.
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
(HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).
***
Dan bagi siapa pun di sana yang tengah menghadapi atau mencoba melewati kehilangan, bersabarlah. Aku tahu ini nasihat klise, tapi ini adalah nasihat dari Allah untuk kita. Bersabar lah di atas ketaatan kepada Allah, agar setiap ujian juga cobaan tidak hanya menyisakan lelah, namun juga menghasilakan pahala bagi diri.
Sabar yang berpadahala, adalah sabar di saat awal musibah itu terjadi. Karenanya para salaf sangat tabah di saat mereka menghadapi kehilangan, karena mereka tahu bahwa tak ada yang sia-sia, bahwa setiap sakit dan derita dunia pasti Allah ganti dengan yang lebih baik juga abadi.
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.”
(HR. Bukhari, no. 1283)
Lihat bagaimana Rasulullah menghadapi kehilangan demi kehilangan di dalam hidupnya. Mulai dari kepergian sang Ayah, hingga kepergian istri tercinta Ibunda Khadijah juga anak-anaknya. Anak Rasulullah hanyalah Fatimah yang masih hidup sepeninggalannya, yang lainnya meninggal di saat beliau masih hidup. Rasulullah bahkan sudah yatim piatu sejak beliau kecil. Namun betapa menakjubkan beliau tetap bisa tumbuh menjadi pribadi terbaik, dengan akhlak yang paling mulia.
Janganlah kita mengkambing hitamkan kemalangan atau kehilangan, untuk menjadi manusia yang rapuh juga lemah. Segala yang terjadi dalam hidup datang karena sebuah alasan baik. Allah Adalah Dzat Yang Maha Sempurna, hidup kita pun telah sempurna Ia tulis 50,000 tahun lalu sebelum dunia ini tercipta. Tak ada ujian yang terlampau berat, karena telah ditakar oleh Dzat Yang Maha Adil Al-‘Adl. Kita lah yang kerap lalai juga sombong, hingga lupa memohon pertolongan-Nya. Allahu A’lam.